Rabu, 21 Juli 2010

PERBANKAN ISLAM


PERBANKAN


1.       Sejarah perkembangan
Kami tidak mampu memberikan batasan secara pasti kapan mulai tumbuhnya bank, akan tetapi kami mengetahui bahwasannya orang-orang babilonia sekitar 2000 tahun sebelum masehi, mereka telah mempergunakan tempat-tempat ibadah mereka sebagaimana bank. Mereka menyimpan harta-harta mereka disana, dan penyihir merekalah yang menjadi penanggung jawab atas penyimpanan dan peminjaman harta mereka. Sedang peraturan perbankan telah lama berkembang secara luas di pemerintahan adidaya Romawi, meskipun kegiatan yang dilakukan bank-bank pada masa itu hanya sebatas pada penukaran uang (money changing) dan peminjamannya.
2.       Ragam bank sesuai dengan tugas-tugasnya
Sesungguhnya faktor utama yang mengklasifikasi (membedakan) antara bank yang satu dengan yang lain adalah terletak pada tujuan dan misi utama bank itu sendiri didirikan. Ada bank perdagangan, ada bank agraria (pertanian) dan industry, bank simpanan, bank investasi, bank central dan bank regional. Dan secara umum bisa kami simpulkan seluruh model perbankan tersebut menjadi empat macam :
Pertama, bank yang memiliki tujuan atau ciri investasi jangka pendek. Bank semacam ini hanya bergerak dalam bidang-bidang baik berupa peminjaman atau yang lainnya dalam waktu yang singkat. Salah satu contoh yang paling mungkin adalah bank perdagangan.
Kedua, bank yang memiliki tujuan atau ciri investasi jangka panjang. Yaitu bank-bank investasi, yang hanya bergerak dalam bidang-bidang baik berupa peminjaman atau investasi pada pembangunan jembatan atau yang lainnya, yang berjangka panjang. Artinya pertumbuhannya membutuhkan waktu yang cukup lama, dan perkembangannya membutuhkan waktu yang lama.
Ketiga, bank central. Yaitu sebuah badan yang didirikan oleh Negara sebagai perwakilan untuk urusan keuangan, dan mengontrol keuangan Negara. Diantaranya adalah menerbitkan uang, tempat penyimpanan cadangan emas Negara, melayani penyimpanan uang dari bank-bank lain, menjaga kestabilan nilai uang dalam negeri, berperan sebagai badan bank bagi bank-bank yang ada, seperti: memberikan kemudahan dalam pengembalian tagihan, memberikan fasilitas discount tambahan, menggelontorkan pinjaman-pinjaman jangka pendek (short therm) dengan jaminan, juga mengatur suku bunga apakah hendak dinaikkan atau diturunkan, serta mengatur kurs (nilai tukar) uang asing. Dengan demikian, bank central adalah bank yang membuat strategi keuangan dalam sebuah Negara, dan mengontrol sirkulasinya, sehingga bank central tidak melayani masyarakat umum, tapi hanya melayani Negara dan bank-bank yang ada.
Keempat, bank multinasional. Yaitu bank yang didirikan atas modal dari beberapa Negara, untuk mengembangkan dan memberdayakan kegiatan investasi dalam negeri masing-masing Negara yang menjadi anggotanya. Diantara bank yang masuk kategori ini adalah bank dunia, yaitu sebuah badan multi nasional yang didirikan pasca perang dunia kedua, tujuannya adalah untuk menyelamatkan asset Negara untuk keperluan investasi Negara itu. Modal awal bank ini yang direncanakan adalah 21 trilyun dolar, sedang yang telah masuk setara dengan kurang lebih sekitar 18,5 trilyun dolar, dan belum digunakan kecuali hanya sekitar 2 trilyun dolar, dan sisanya masih menunggu permohonan-permohonan yang masuk, yang akan digelontorkan bank kepada Negara-negara yang menjadi anggotanya saat membutuhkan, baik untuk menanggulangi krisis, atau membangun kembali negeri pasca perang, atau perbaikan pemerintahan atau yang sejenisnya.
Dan bank dunia tidak akan memberikan pinjamannya kepada suatu Negara kecuali setelah mempelajari latar belakang serta tujuan Negara tersebut mengajukan pinjaman, ketika bank telah menganggap bahwa Negara itu perlu menerima bantuan dan Negara pemohon pinjaman tersebut dianggap mampu mengembalikan apa yang telah dipinjamnya, maka bank akan mencairkan pinjaman yang diminta, tapi jika tidak maka pengajuan pinjaman pun ditolak.
3.       Ragam bank berdasarkan system transaksinya
Setidaknya ada dua macam bank sesuai dengan system transaksi yang berlaku dalam dunia perbankan, yaitu: bank konvensional (ribawi), dan bank non ribawi (islam).
  1. Bank konvensional
1)      Bank konvensional atau bank ribawi adalah bank yang memberikan layanan simpanan kepada nasabah, dan memberikan kepada mereka interest tertentu dalam bentuk persentase pertahun dalam berbagai keadaan. Lalu bank mengelola simpanan yang telah dikumpulkan untuk dipinjamkan kepada para pemohon pinjaman, seperti: pedagang; pialang saham dan yang lainnya. Dan mensyaratkan adanya interest tertentu yang persentasenya lebih besar dari pada interest yang diberikan kepada nasabah simpanan, yang harus dibayarkan oleh para pemohon pinjaman yang menerima pinjaman. Selisih nilai persentase dari kedua interest itulah yang menjadi keuntungan bank. Dan jika terjadi penumpukan funding dari dana simpanan sehingga jumlahnya lebih besar daripada dana yang dipinjamkan, maka bank pun akan meletakkan dana berlebih tersebut di bank lain dengan interest tertentu yang telah ditentukan. Dan demikianlah yang dilakukan oleh bank-bank lain yang sejenis. Hingga pada akhirnya dana-dana berlebih yang ada akan mengalir ke beberapa gelintir bank asing internasional yang besar, yang dimiliki oleh sekelompok orang yahudi, yang dipergunakan sebagai suntikan modal bagi lembaga internasional dalam pengembangan persenjataan yang berbahaya, atau membangun industry investasi di negeri-negeri asing (non islam), atau mendirikan industry di negeri-negeri islam dan mengirimkan keuntungan yang dihasilkan oleh industry tersebut ke negeri-negeri asing. Dan sangat jarang sekali bank-bank konvensional yang secara langsung menginvestasikan dananya, akan tetapi hanya sebatas meminjamkan dananya pada para produsen.
Oleh karena itu kami berpendapat bahwa sebagian besar dari kegiatan pertumwanpbuhan dan pengembangan yang ada di negeri-negeri asing tidak lepas dari peran investasi negeri-negeri islam –negara-negara dunia ketiga– dengan jalan layanan simpanan yang diberikan oleh bank-bank konvensional yang mengalirkan dananya secara besar-besaran kepada bank-bank asing internasional yang besar.
2)      Bahaya riba.
Kami tidak ingin membahas banyak tentang bahaya riba, karena sudah banyak para cendekiawan maupun penulis yang telah membahas secara rinci tentangnya. Akan tetapi kami ingin sedikit mengupas apa yang tidak boleh dilalaikan, sedang kami saat ini membahas tentang bank konvensional. Dan jika kami teliti kembali peraturan perbankan konvensional, sungguh kami dapati bahwa peraturan tersebut berbahaya baik bagi individu maupun komunitas.
Adapun bahayanya bagi individu, diantaranya:
a)      sesungguhnya peraturan tersebut mendidik untuk menjadi pengecut dan meninggalkan tanggung jawab. Orang yang menitipkan hartanya di bank konvensional dengan keuntungan yang diberikan –yang merupakan riba dengan kadar sekian– sungguh ia telah lari dari tanggung jawab untuk menanggung kerugian padahal ia bisa menginvestasikan hartanya dengan tangannya sendiri atau bermitra dengan orang lain dalam mengembangkan usahanya, seperti dalam syirkah mudhorobah. Dan jika orang telah terbiasa berlaku meninggalkan tanggung jawab, maka sungguh ia telah gagal dalam berbagai lini hidupnya. Ia akan lari dari tanggung jawab terhadap rumahnya, anak-anaknya, pekerjaannya, dalam memilih teman-temannya, dan seluruh tindak-tanduk dan perilakunya. Dan orang yang demikian adalah orang yang gagal.
b)      Juga bisa membunuh kreatifitas seseorang dan melemahkannya. Karena orang yang menyerahkan urusan keuanganya kepada bank itu –terlepas dari apakah ia punya rencana atau ide dalam menginvestasikan hartanya itu atau tidak– dengan keuntungan tertentu, secara tidak langsung akalnya akan menjadi tumpul dan lemah sehubungan dengan cara pengembangan hartanya itu. Padahal jika ia mengembangkan hartanya itu dengan tangannya sendiri atau dengan cara mudhorobah misalnya, sungguh ia akan mendapatkan pandangan lain tentang cara mengembangkan atau menginvestasikan hartanya tersebut. Sesungguhnya ide untuk merencanakan itu lebih berharga daripada rencana yang ia lakukan itu sendiri, yang nantinya ia akan mampu menyusun rencana yang lebih menguntungkan. Dan dengan kreatifitas pribadi perekonomian akan lebih berkembang, dan para pelakunya akan mendapatkan pengalaman dan ilmu yang lebih.
c)       Bisa mengantarkan kepada kebangkrutan bagi para pedagang dan produsen. Kami telah banyak melihat banyak pedagang dan produsen ketika bank-bank konvensional memberikan suntikan dana kepada mereka, maka mereka akan terlihat lebih besar daripada aslinya, dan mereka membuat dan melakukan perencanaan-perencanaan yang lebih besar daripada kemampuan dana yang mereka miliki. Dan saat mereka mengalami masa-masa sulit, maka bank akan membuat perhitungan dengan mereka sehingga memberatkan dan menghalangi segala usaha mereka.
Sedangkan diantara bahayanya untuk komunitas dan perekonomian adalah :
a)      System konvensional akan menyebabkan terjadinya penggelembungan produksi besar-besaran. Para produsen bisa memproduksi karena bank memberikan pada mereka aliran dana yang besar, dan hasil produksi yang melimpah ketika tidak tersedia pasar yang memadai untuk memasarkan hasil produksi tersebut, maka akan menjadi malapetaka. Sedang menyediakan pasar untuk mendistribusikan hasil produksi bukanlah urusan yang mudah. Sehingga menyebabkan keributan diantara Negara-negara yang ada, yang pada akhirnya keributan ini akan menjadikan persaingan dan pergesekan diantara Negara-negara. Yang kadang-kadang pergesekan tersebut mengantarkan kepada peperangan. Dan kita mengetahui bahwa dua perang dunia pertama dan kedua, diantara factor penyebab yang menduduki peringkat pertama adalah factor ekonomi bukan politik, begitu juga yang melahirkan perang teluk pada tahun 1411 H.
b)      Menambah angka pengangguran. Karena mereka para pemilik dana yang meletakkan dana yang mereka miliki di bank dengan keuntungan tertentu, merasa terjamin jalan rizkinya. Sehingga menjadikan mereka enggan untuk berusaha, sedang keengganan mereka untuk berusaha itu memiliki efek samping yang banyak, diantaranya : terbiasa untuk malas dan nganggur, sedang itu adalah malapetaka; juga menjadikan banyak waktu yang potensial terbuang sia-sia –dan inilah yang terjadi pada sebagian besar mereka– yang tidak layak untuk dilakukan.
c)       Menjadikan orang-orang kafir lebih kuat daripada kaum muslimin. Kami telah katakan bahwa dana mengalir deras dari bank-bank konvensional di seluruh dunia ke beberapa gelintir bank-bank asing, yang dimiliki oleh para yahudi, yang dengan demikian merupakan pengebirian terhadap kemampuan kaum muslimin dan memberikan suplay kekuatan kepada musuh-musuh mereka.
3)      Hukum syar’i riba
Sudah tidak bisa dielakkan lagi bahwa dien ini mengharamkan riba, baik secara nash maupun fikih.
Adapun secara nash : sudah cukup jika kami sebutkan firman Allah ta’ala yang membedakan atara keuntungan yang didapatkan dari transaksi perdagangan –yang dibangun diatas dasar resiko– dengan riba yang tidak mengandung unsur resiko, maka Allah menghalalkan yang pertama –keuntungan dari hasil perdagangan– dan mengharamkan yang kedua, dan Allah memberikan ancaman kepada para pelakunya dengan memusuhi mereka, dan menggambarkan mereka dengan gambaran yang paling buruk, yaitu seperti orang yang gila karena kerasukan setan, sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 275-276 :
Dan pengharaman riba tidak sebatas pada orang yang memakan hasil riba saja, tetapi juga yang memberikan layanan riba, dan setiap orang yang ikut serta dan membantu didalamnya. Telah diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, ia berkata : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang memakan hasil riba, yang memberikan riba, yang menulis dan kedua saksinya. Dan berkata : “Mereka semua sama”.” (HR. Muslim dalam al-Musaaqaat Bab “Laknat terhadap orang yang memakan dari hasil riba dan orang yang memberikan riba”)
a.      Bank non ribawi (bank islam)
1)      Ketika bank-bank ribawi (konvensional) tumbuh bukan untuk kaum muslimin, akan tetapi lahir di rahim Negara-negara barat non muslim, maka sesungguhnya tidak akan bermanfaat sedikitpun terhadap mereka –kaum muslimin– , dan tersebar luasnya diantara negeri islam masuk bersama penjajahan yang terjadi di negeri tersebut. Ketika penjajahan tersebut berhasil dipatahkan, maka tinggallah sebagian besar dari ide dan produk-produknya, diantaranya bank-bank konvensional. Dan kaum muslimin yang peduli untuk memperbaiki ini semua berpikir untuk menyudahi dan memberangus bank-bank konvensional ini. Akan tetapi kenyataannya ternyata tidak semudah yang diharapkan, karena dibelakang system perbankan konvensional tersebut diperkuat oleh banyak Negara-negara di dunia. Dengan demikian mereka berinisiatif untuk membuat suatu lembaga keuangan yang melayani kaum muslimin dan jauh dari riba, maka jadilah apa yang sekarang kita kenal dengan bank non ribawi atau bank islam.
2)      Dan para ekonom islam dituntut untuk memformulasikan solusi pengganti yang tepat untuk bisa menggantikan system riba dalam bermuamalah. Dengan catatan, hendaknya pengganti tersebut adalah apa yang dihalalkan islam dan bukan yang diharamkan. Dan setelah mengkaji berbagai teori yang ada, para ekonom islam tersebut berinisiatif untuk memberikan beberapa pengganti sebagai solusinya, yang paling penting diantaranya adalah sebagai berikut :
a)      Musyarakah (kerjasama) dalam keuntungan dan kerugian atau Less and revenue sharing. Tidak diragukan lagi tentang kebolehan system musyarokah less and revenue sharing sesuai dengan ketentuan hukum syariat islam. Diantara bentuk system ekonomi less and revenue sharing adalah :
                                                    i.      Syirkah, dimana ada seseorang yang memiliki dana satu juta, datang ke bank islam untuk mengajukan qordh (pinjaman) senilai satu juta, dalam rangka untuk mendirikan perusahaan lampu listrik. Lalu bank berkata pada orang tersebut, setelah mempelajari proposal rencana yang telah diajukan, “Bank akan memberikan kepada anda satu juta dan akan menjadi mitra kerjasama dengan nisbah sepertiga dari keuntungan atau kerugian. Dan setiap bagian dana yang terhutang itu dikembalikan kepada bank, maka bagian nisbah bank akan semakin sedikit sesuai dengan jumlah bagian yang dibayarkan. Dan ketika telah terbayar seluruh hutang dalam hubungan kerjasama tersebut, maka bank dengan sendirinya akan terlepas dari hubungan kerjasama, dan usaha tersebut sepenuhnya milik anda.” Dan itu adalah contoh yang disyariatkan tidak diragukan lagi, yang dikenal dengan istilah “Syirkah Mutanaqishoh Muntahiyah bit Tamlik”.
                                                   ii.      Mudhorobah, dimana seseorang mendatangi bank islam dan berkata, “Saya ingin meminjam modal untuk merealisasikan rencana mendirikan perusahaan editorial misalnya, atau untuk mengelola tanah dan menanaminya, atau untuk mengimpor bahan dasar pembuatan sepatu atau yang semacamnya.” Maka bank akan mengatakan setelah mempelajari proposal rencananya, “Sesungguhnya bank akan memberikan apa yang anda minta, dan anda akan mengelolanya dan mengembangkannya dengan catatan, keuntungan yang dihasilkan  -dengan izin Allah- akan dibagi dua antara anda dengan bank, dan andai terjadi kerugian –semoga Allah tidak mewujudkannya– maka bank akan menanggung seluruh kerugian, karena bank adalah pemilik seluruh modal yang ada. Sedangkan anda kehilangan jerih payah yang telah anda lakukan.” Yang demikian disebut “Syirkah Mudhorobah”.
Dan diantara bentuk mudhorobah yang lain adalah apa yang telah dititipkan para nasabah kepada bank islam dalam bentuk tabungan, bank kelola dengan baik pada bentuk usaha yang dilihat sesuai, dimana bank mendapatkan hasil atau keuntungan dari usaha tersebut –dimana hasil itu bukan dalam bentuk nominal yang tetap, akan tetapi adalah prosentase tertentu dari seluruh keuntungan, sedang bagi para nasabah prosentase sisanya– dan jika terjadi kerugian, maka para nasabahpun akan menanggung kerugian itu.
b)      Fasilitas layanan. Hal ini meski terasa mudah penerapannya dalam hal hiwalah (pengalihan hutang), akan tetapi tidak mudah penerapannya dalam hal pinjaman yang sesuai dengan syariah. Karena bank ketika bank memberikan pinjamannya kepada pemohon (nasabah) pinjaman, maka bank akan mengenakan seluruh modal yang dipinjamkan ditambah dengan biaya layanan tertentu untuk menutupi biaya administratif yang dikeluarkan bank. Dan penghitungan itu semua secara mendalam tidaklah mudah, kalau tidak boleh dikatakan mustahil, oleh karena itu banyak bank yang menghindari wilayah qordh (pinjaman) ini. Dikarenakan bank tidak mendapatkan keuntungan sama sekali dari layanan qordh ini. Sehingga tidak ada yang siap untuk menerapkannya sebagaimana bank-bank ini.
c)       Jual beli kredit. Yaitu seseorang mengajukan pinjaman untuk melengkapi perlengkapan pabriknya, lalu bank berkata padanya : “kami tidak akan memberikan pinjaman kepada anda, tetapi kami akan membelikan anda perlengkapan yang dibutuhkan, lalu kami jual barang tersebut kepada anda. Maka pemohon (nasabah) mengambilnya dengan akad membeli. Lalu bank membeli perlengkapan tersebut secara tunai dengan harga seratus ribu, kemudian menjualnya kepada pemilik perusahaan (pemohon/nasabah) secara kredit dengan harga seratus lima ribu.
Dan model penerapannya dalam bank-bank islam untuk hal ini sangat beraneka ragam, yang disebut dengan “urusan pembelian”.
Maka bank-bank islam didirikan di berbagai wilayah kaum muslimin, dan orang-orang sangat bergembira dengan hal itu, serta memberikan respon yang positif. Sehingga bertebaranlan bank-bank ini dengan sistem less and revenue sharing sebagaimana dengan urusan pembelian atau jual beli kredit. Dan bank-bank ini sukses besar, dan diantara sebab kesuksesannya antara lain :
                                                               i.      Tidak adanya unsur riba dalam muamalah, karena ia bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar kaum muslimin dan aqidah mereka, dan mereka menggantinya dengan system baru yang sesuai dengan syariat. Dan dalam menjamin kesesuaiannya dengan syariat, telah dibentuk pula dalam setiap bank dewan yang mengawasi, yang diantara tugasnya adalah menggagalkan segala praktek muamalah yang tidak sesuai dengan aturan syar’i, dan menjadikan wewenang dewan ini sebagai wewenang tertinggi dalam bank.
                                                             ii.      Investasi (pengembangan usaha) yang dilakukan bank adalah berasal dari dana yang dimiliki sendiri, seperti jual beli tanah, impor bahan-bahan yang bergizi, dan lain sebagainya.
                                                            iii.      Dalam pengembangannya, bank-bank islam lebih mengutamakan negeri-negeri islam. Dengan demikian bank-bank islam ikut serta dalam menanam modal untuk mengembangkan usaha-usaha investasi di negeri-negeri islam.
Oleh karena itulah, bank-bank konvensional yang ada –yang merupakan musuh bebuyutan bagi bank-bank islam– melancarkan serangannya terhadap bank-bank islam serta menghambat segala proses muamalah dengannya, sedang bank-bank islam semakin hari semakin tumbuh berkembang.
1.       Kegiatan perbankan
Baik bank-bank konvensional maupun bank-bank islam, sesungguhnya melakukan beragam kegiatan perekonomian masing-masing. Dan sudah semestinya bagi kami dan kita semua untuk membahas tentang bank-bank menurut perspektif syariah islamiyah, sehingga kita bisa mewarnai muamalah yang ada dengan muamalah yang sesuai syariah. Dan kita juga mengetahui bahwa jika muamalah yang ada sesuai dengan syariah islamiyah ataupun tidak, maka kita juga akan tahu mana yang halal sehingga kita boleh melakukannya, dan mana yang diharamkan sehingga kita harus menjauhinya. Dan setelah mengoreksi kembali muamalah yang ada, kami mendapati bahwasannya memungkinkan bagi kita untuk membaginya menjadi dua bentuk: muamalah investasi, dan muamalah layanan.
Pertama, transaksi investasi, diantara bentuknya adalah :
a.       Murobahah lil Amir bisy Syiro’ (murobahah dengan kredit)
Dimana pedagang menyatakan kepada bank bahwa dirinya ingin membeli suatu barang tertentu, akan tetapi tidak memiliki kemampuan dana untuk membelinya. Maka si pedagang meminta bank untuk membeli barang yang diinginkan tersebut sesuai perhitungan bank, yang nantinya akan dia beli dari bank setelah barang itu ada dengan harga tertentu yang disepakati secara kredit, yang mana si pedagang memberikan keuntungan dalam jumlah tertentu kepada bank.
Transaksi semacam ini diperbolehkan dalam madzhab maliki, dan pedagang harus membeli barang tersebut dari bank dengan harga tertentu yang telah disepakati. Karena saat ia meminta bank untuk membelikannya barang tersebut dengan janji akan membelinya dari bank, maka secara otomatis itu menjadi tanggungannya yang harus dia penuhi, dan janji tanggungan (harta) harus dipenuhi dalam madzhab maliki.
Dan Dewan Fikih dalam Mandhimatil Mu’tamar al-Islamiy telah mengeluarkan fatwa bolehnya transaksi semacam ini, itu terjadi pada mu’tamar yang kelima yang dilaksanakan di Kuwait pada 1-6 Jumadil Ula 1409 H. atau 10-15 Desember 1988 M. yang berisi sebagai berikut :
Pertama, sesungguhnya jual beli murobahah dengan kredit terhadap suatu barang yang telah menjadi milik yang diserahi urusan, dan sudah sah kepemilikannya secara syar’i, maka itu diperbolehkan selama yang diserahi urusan bertanggung jawab jika terjadi kerusakan sebelum penyerahan barang tersebut, terpenuhi seluruh syarat-syaratnya dan terlepas dari segala yang membatalkannya.
Kedua, adanya wa’ad atau janji (yaitu yang berasal dari pemohon atau dari yang diserahi urusan secara terpisah) maka wajib bagi yang memberikan wa’ad untuk memenuhinya kecuali ada udzur (halangan). Dan dialah yang harus memenuhi gantinya jika wa’ad tersebut terikat dengan sesuatu, sedang apa yang dijanjikan itu menjadi bayaran atas janji yang dilontarkan. Dan kewajiban dalam hal ini akan berakhir baik dengan mewujudkan wa’ad tersebut, ataupun dengan penggantinya ketika dalam keadaan darurat, sebagai bentuk tanggung jawab atas tidak terpenuhinya wa’ad tersebut bukan karena udzur.
Ketiga, adanya muwa’adah atau akad perjanjian (yang berasal dari kedua belah pihak) diperbolehkan dalam jual beli murobahah selama ada khiyar bagi masing-masing pihak yang terikat dalam perjanjian, baik keduanya ataupun salah satunya. Jika tidak ada khiyar, maka jual beli tersebut tidak diperbolehkan, karena akad perjanjian dalam jual beli murabahah seperti jual beli murobahah itu sendiri, sebagaimana disyaratkan bahwa barang yang dijual adalah murni milik penjual sehingga tidak terjadi penyelewengan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang manusia menjual apa yang bukan miliknya.
Dan Mu’tamar tersebut merekomendasikan :
Sehubungan dengan adanya fakta bahwa kebanyakan dari bank-bank islam sebagian besar kegiatan transaksi yang digunakan dalam mengelola dananya adalah dengan system murobahah lil amir bisy syiro’, muktamar ini merekomendasikan sebagai berikut :
1)      Hendaklah kegiatan perbankan islam diperluas dalam berbagai bentuk dan cara dalam menumbuhkan perekonomian, apalagi dalam mendirikan rencana-rencana industry dan perdagangan dengan kesungguhan yang luar biasa, atau dengan cara musyarakah dan mudharabah dengan fihak lain.
2)      Hendaklah mempelajari fakta lapangan dalam menerapkan Murabahah lil Amir bisy Syiro’ bagi bank-bank islam yang ada, agar bisa menemukan formulasi yang pas dalam rangka menghindari resiko dan cacat dalam pelaksanaannya, dan yang pasti menjaga prinsip-prinsip dasar hukum syar’i baik yang umum maupun khusus yang berhubungan dengan jual beli Murabahah lil Amir bisy Syiro’, wallahu a’lam.
Dan dalam majlis fikih yang pertama tentang lembaga keuangan, yang diadakan di Kuwait pada tanggal 7-11 Rajab 1407 H., telah mengajukan beberapa bentuk transaksi murabahah lil Amir bisy Syiro’ dan didalamnya harus mengandung khiyar syarth, skemanya adalah sebagai berikut :
1)      Bank mengkaji keinginan nasabah – pedagang – untuk membeli suatu barang tertentu dengan wa’ad akan dibeli oleh nasabah. Dimana sudah menjadi kebutuhan bank untuk mengkaji kesungguhan nasabah – pedagang – dalam memenuhi janjinya untuk membeli, sehingga bank tidak terperosok dengan terlanjur membuat transaksi dengan nasabah, lalu tiba-tiba mengcancelnya, yang menyebabkan nama bank itu buruk.
2)      Lembaga keuangan tersebut membelikan barang yang dijanjikan akan dibeli dengan memasukkan syarat adanya khiyar bagi lembaga keuangan untuk membatalkan akad, sehingga secara otomatis kepemilikan barang tersebut akan beralih padanya.
3)      Lembaga keuangan akan meminta pemohon atau nasabah agar memenuhi wa’adnya untuk membeli barang tersebut, jika ia mau membeli maka lembaga keuangan akan menjual padanya, yang dengan demikian maka gugurlah hak lembaga keuangan untuk membatalkan akad jual beli.
b.      Syirkah Mudharabah
Mudharabah adalah kesepakatan yang terjadi antara dua belah pihak, dimana salah satunya menjadi pemodal dengan memberikan dana, dan yang lain mengelola dana tersebut. Dan keuntungan yang dihasilkan nantinya sesuai yang disepakati oleh kedua belah pihak akan dibagi, seperti sepertiga atau setengah. Dan tidak diperbolehkan bagi salah satu dari keduanya untuk menentukan sendiri bagian dengan jumlah tertentu dari keuntungan, atau keuntungan dari barang tertentu. Adapun kerugian yang timbul maka akan ditanggung oleh pemilik modal. Dan ibnu Taimiyah telah membolehkan bagi pemilik modal untuk mensyaratkan pengembaliannya senilai dengan modal awal, dikiaskan dengan pengembalian pohon dan tanah dalam urusan pertanian. Sedang pertanian dan syirkah mudharabah adalah salah satu dari kegiatan yang dilakukan perbankan islam. Dimana bank-bank islam mengumpulkan dana dari masyarakat untuk dikelola dalam suatu perdagangan dengan adanya bagi hasil untuk masyarakat (nasabah) dari keuntungan yang dihasilkan, namun jika tidak ada keuntungan yang dihasilkan, maka bank kehilangan segala usaha yang telah dilakukannya, walaupun kerugian itu ditanggung oleh mereka yang memiliki modal, dalam hal ini masyarakat.
Syirkah Mudharabah telah disyariatkan dalam islam tanpa ada perbedaan pendapat, dan pernah dilakukan pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, pada masa para sahabat serta tabi’in radhiallahu ‘anhum ajma’in.
c.       Syirkah Muntahiyah bit Tamlik
Yaitu kerjasama antara dua belah pihak atau lebih dalam permodalan Syirkah, dengan ketentuan bahwa jika salah satu pihak dari beberapa pihak yang bekerja sama dalam syirkah tersebut telah menerima bagian tertentu, maka saham atau wewenang dia dalam syirkah juga akan berkurang sesuai dengan kadar itu, hingga ketika ia telah menerima secara utuh apa yang telah ia berikan untuk modal, maka sejak saat itu secara otomatis saham atau wewenang dia dalam syirkah tersebut telah hilang, dan syirkah tersebut menjadi hak penuh salah satu pemodal yang menjadi pengelola.
Dan ini adalah syarat yang sesuai dengan akad, di dalamnya terdapat mashlahah bagi salah satu dari dua belah pihak yang bersepakat, yaitu adanya izin yang merupakan syarat yang dibenarkan dalam madzhab hambali.
Dan syirkah semacam ini juga bisa terjadi dalam bentuk mudharabah muntahiyah bit tamlik. Dimana modal berasal dari bank, sedang yang mengelola adalah pihak lain. Maka bagi pemilik modal bagian tertentu dari keuntungan yang dihasilkan, dan sisanya untuk yang mengelola atau menjalankan usaha. Dengan syarat bahwa pengelola mengambil bagian tertentu, dan bank memiliki bagian tertentu dari sisa modal yang masih dikelola oleh pemilik usaha untuk dikembangkan lagi. Dan ketika dana yang diserahkan oleh pengelola kepada bank sudah senilai dengan modal yang diberikan bank kepada pemilik usaha untuk menjalankan usahanya, misalnya mobil, atau tempat usaha, atau yang lainnya, maka secara otomatis kepemilikan dari barang tersebut akan berpindah ke tangan pemilik usaha, dengan demikian selesailah akad syirkah (kerjasama) diantara kedua belah pihak.  Dan dalam madzhab hambali itu diperbolehkan, karena disyaratkan adanya pembelian barang yang dijadikan akad kerjasama oleh pemilik usaha dari bank sesuai dengan akad, dan didalamnya ada mashlahah bagi salah satu dari kedua belah pihak yang bersepakat, yaitu adanya izin, yang merupakan syarat yang sah dalam madzhab hambali. Sedang menurut Dr. Samiy Hamud bahwa transaksi semacam ini tidak lebih dari sekedar inovasi atas apa yang diperbolehkan dalam madzhab hambali, seperti sewa kendaraan atau kapal dengan bagian tertentu dari hasil yang didapat, dan hal ini diperkuat oleh Dr. Hasan Abdullah Amin dengan menyatakan pemikiran yang sama.
Dan menurut kami, sepanjang transaksi ini tidak keluar dari prinsip syarat akad, maka tidak ada salahnya jika kita memasukkannya dalam konsep syirkah, ataupun memasukkannya dalam konsep ijaroh.
d.      Simpanan dan Pinjaman ribawi
Transaksi semacam ini terjadi di bank, baik berupa simpanan, dimana bank mengelola seluruh simpanan yang masuk dengan menginvestasikannya di sektor tertentu yang menguntungkan, dan bank akan memberikan persentase tertentu kepada nasabah atas apa yang mereka titipkan kepada pihak bank, yaitu apa yang disebut dengan istilah “bunga”, dan nasabah tidak dirugikan sedikitpun meski bank mengalami kerugian.
Atau berupa pinjaman yang diberikan oleh bank kepada salah satu dari nasabahnya dengan adanya persentase tertentu yang harus dibayarkan nasabah kepada bank pertahun, yaitu bunga, selama pinjaman ini belum dilunasi oleh nasabah.
Dan jika kita tahu bahwasannya bank memanfaatkan seluruh dana yang dititipkan padanya, baik dalam bentuk deposito maupun simpanan biasa, yang dikelola dengan cara dipinjamkan secara riba kepada para peminjam, maka kita tahu bahwa tidak diperbolehkan menyimpan uang kita di bank ribawi kecuali dalam batas-batas darurat saja, baik simpanan itu dengan bunga ataupun tidak.
Adapun tidak diperbolehkan juga meski tanpa bunga, karena bank diperkuat dengan adanya dana simpanan ini, sedang hal semacam ini merupakan salah satu bentuk bantuan dalam bermaksiat –yaitu mendukung transaksi ribawi–.
Adapun diperbolehkannya menyimpan dana di bank-bank ribawi dalam batas-batas darurat, karena dalam kaidah syariat dikatakan “adh-dhoruuratu tubiihul mahdhuuraat” (keadaan darurat itu menghapuskan batasan atau larangan). Karena kebutuhan itu menduduki wilayah darurat, maka hukumnya adalah sebagaimana hokum ketika dalam keadaan darurat. Diantara bentuk kebutuhan darurat itu antara lain : antisipasi terhadap pencurian dan perampokan, lebih mudah dalam mentransfer atau mengambil uang, khususnya jika itu terjadi di negeri yang jauh dan yang semacamnya. Dan tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk menyimpan di bank ribawi ketika sudah tidak dalam keadaan darurat, sebagaimana disebutkan dalam kaidah syariah “adh-dharuuratu tuqdaru biqadariha” (darurat itu ada batasannya). Dan keadaan darurat tidak akan berlaku ketika ada pengganti yang sesua dengan syariat, sedang saat ini telah ada penggantinya –alhamdulillah– di negeri-negeri islam, yaitu adanya bank-bank non ribawi, yang dikenal dengan bank-bank islam (syariah) yang tidak bertransaksi dengan riba. Sehingga dengan adanya pengganti ini, maka diharamkan menyimpan dana di bank-bank konvensional (ribawi).
Dan jika menyimpan dana di bank-bank konvensional haram meski tanpa bunga, maka menyimpan dana di bank-bank konvensional lebih haram jika tidak dalam keadaan darurat.
Dan jika seseorang memiliki dana di bank konvensional dengan sebab apapun – baik karena darurat ataupun tidak – maka yang dilakukannya terhadap bunga bank itu sendiri tidak akan keluar dari empat pilihan :
1)      ia mengambilnya dan menyatukannya dengan seluruh dana yang ia miliki di bank tersebut.
2)      Ia tidak mengambilnya atau meninggalkannya di bank, karena itu adalah riba.
3)      Ia mengambilnya dan membuangnya.
4)      Ia mengambilnya dan menginfakkannya kepada orang-orang faqir agar bisa dimanfaatkan.
Adapun pilihan yang pertama, maka itu tertolak atau tidak bisa dibenarkan, karena hal itu berarti ia memakan riba. Dan memakan riba dalam islam adalah haram.
Sedang pilihan yang kedua juga tidak bisa dibenarkan, karena meninggalkan bunga tersebut dalam pengelolaan bank berarti memperkuat bank tersebut dalam bermaksiat (dengan riba), dan itu juga diharamkan.
Pilihan yang ketiga juga tidak bisa dibenarkan, karena ada unsur menyia-nyiakan harta, dan itu tidak diperbolehkan dalam islam.
Dan yang tersisa adalah pilihan yang keempat, ini diperbolehkan secara ijma’ karena tidak ada jalan lain bagi harta yang haram kecuali diinfakkan untuk fakir dan miskin.
Permisalan harta semacam ini adalah seperti sebuah bara yang ada ditangan seseorang yang tidak bisa ia biarkan tetap berada ditangannya, jika ia biarkan berada di tangannya, maka bara itu akan membakar tangannya. Tapi jika ia memberikannya pada yang lainnya – orang-orang fakir – maka bara itu akan memadamkan kebutuhannya (yang merupakan pemberian yang ditunggu-tunggu).
Dan jika ada yang berkata : “Bagaimana anda bisa memberi makan orang-orang miskin dari harta yang haram?”
Maka kami jawab : “sesungguhnya bunga yang diambil oleh nasabah dari bank itu adalah haram. Akan tetapi ketika ia memberikannya kepada orang fakir, maka orang fakir itu mengambilnya secara halal, karena ia mengambilnya bukan karena factor sebagaimana yang dilakukan nasabah dengan menyimpan uangnya di bank, dan dalam kaidah fikih disebutkan “tabaddulu sababil milki qo’imu maqama tabaddulidz dzaat” (perbedaan sebab kepemilikan menjadikan kedudukan atau status barang tersebut juga berbeda). Dan kaidah ini bersumber dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Aisyah radhallahu ‘anha, ia berkata : “Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam datang dan mendapati diatas api ada periuk yang sudah mendidih, lalu beliau minta untuk makan siang, maka diberikan pada beliau sepotong roti dan bumbu dari dapur. Lalu beliau bertanya, “Bukankah tadi aku melihat ada periuk yang mendidih diatas api?” Mereka menjawab, “Benar Rasulullah, akan tetapi itu adalah daging yang disedekahkan kepada Barirah, lalu ia memberikannya pada kami, sedang anda tidak makan barang sedekah.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Itu adalah sedekah untuknya, dan hadiah untuk kita.” Dan para ulama’ fikih telah mengeluarkan banyak hukum fikih dari kaidah ini.
e.      Potongan giro
Potongan giro – surat bukti piutang – adalah seorang pemilik piutang datang ke bank dengan membawa surat bukti piutangnya sebelum jatuh temponya, setelah bank menyetujui dengan menandatangani surat piutang tersebut sebagai bukti pemindahan hak penagihan kepada bank, maka pemilik piutang tersebut menerima sejumlah dana yang nominalnya lebih kecil daripada nominal piutang yang terdapat dalam surat agunan tersebut. Dan selisih nilai antara nominal surat agunan dengan jumlah dana yang diterima pemilik agunan adalah jumlah bunga yang ditetapkan dari nilai agunan sesuai waktu jatuh tempo nominal agunan yang akan diterima bank pada masa jatuh tempo nanti. Dan bagi yang mau mengoreksi kembali transaksi ini, ia akan mendapati bahwa transaksi semacam ini tidak akan keluar dari dua hal :
1)      Pemilik giro telah menjual nilai piutang dalam tempo tertentu sesuai yang tertera dalam surat, dengan harga tertentu yang lebih rendah secara spot, dan hal ini tidak diperbolehkan karena mengandung unsur riba.
2)      Bank telah meminjamkan kepada pemilik piutang sebagai pemilik hak penagihan sejumlah dana yang nilainya lebih rendah dari nilai yang tertera dalam surat. Dan pemilik piutang yang telah mengalihkan hak tagihan terhadap penghutang kepada bank, juga telah membebankan bunga kepada penghutang. Sehingga ketika waktunya jatuh tempo bank menerima pengembalian hutang sesuai nilai yang tertera dalam surat tersebut, yang nilainya sama dengan apa yang telah diberikan bank kepada pemilik piutang ditambah selisihnya. Dan selisih tersebut adalah riba, yang tidak boleh diambil oleh bank.
Jenis kedua, transaksi layanan. Diantaranya adalah :
a.       Pencairan hak.
Seperti pencairan chek atas bank lain, baik yang di dalam atau diluar negeri dengan biaya tertentu, atau pencairan hak piutang atas pedagang atau bos pekerja atau yang lainnya dengan biaya tertentu.
Dan yang jelas disini adalah akad yang terjadi antara bank dan pemilik hak cek ataupun giro itu adalah akad jasa. Dimana pemilik cek atau giro sepakat dengan bank untuk mencairkan nilai atau nominal yang tertera dalam cek atau giro dengan biaya tertentu yang diminta bank untuk mencairkan cek atau giro tersebut. Dan jika bank tidak bisa mencairkannya, maka bank akan mengembalikan cek atau giro tersebut kepada pemiliknya tanpa mendapatkan bayaran apapun.
b.      Transfer uang
Diantara bentuk fasilitas layanan yang diberikan bank adalah penukaran mata uang dari suatu Negara ke mata uang Negara lain, dengan cara seseorang menyerahkan sejumlah dana kepada bank, agar bisa diambil saat ia berada di Negara lain, dengan dikenakan biaya tertentu yang diterima oleh bank dalam melakukan transaksi ini.
Menurut ustadz Syaikh Mustafa az-Zarqa’ bahwa jumlah dana awal yang diserahkan oleh nasabah kepada bank untuk ditransfer ke Negara lain adalah pinjaman, dan jika itu adalah pinjaman, maka seluruh transaksi yang berlaku adalah wesel (bill of exchange). Sebagimana yang telah dijelaskan oleh para ahli fikih, “yaitu pinjaman yang dilakukan saat berada disuatu negeri dan dicairkan atau diambil saat berada dinegeri lain dalam rangka menghindari bahaya selama dalam perjalanan”, kemudian diriwayatkan adanya ikhtilaf di kalangan para ahli fikih dalam kemakruhannya.
Dan menurut kami, transfer uang bukanlah wesel, akan tetapi ia adalah jasa, karena empat syaratnya terpenuhi, yaitu : adanya musta’jir (pemohon jasa) orang yang meminta transfer; ajiir (pemberi jasa), dalam hal ini bank; al-musta’jar ‘alaih (jasa) – manfaat – yaitu transfer uang dari suatu negeri ke negeri lain; dan adanya ujroh (upah) yaitu biaya transfer yang dibebankan bank kepada orang yang ingin mentransfer uangnya.
Dan jika bentuknya adalah ijaroh, maka tidak ada hukum syar’i yang mengharamkannya jika semua syaratnya terpenuhi dan dibenarkan.
Akan tetapi transfer uang melalui bank biasanya diikuti dengan transaksi penukaran uang, dimana ketika terjadi transfer uang dari suatu Negara ke Negara lain, karena sesungguhnya orang yang mentransfer uang seribu real Saudi dari Saudi Arabia ke tempat yang dekat dengannya di Suria misalnya, tapi meski jaraknya dekat real Saudi tidak berlaku di Suria, akan tetapi hanya Lira Suria yang berlaku. Dengan demikian kita harus membahas sejenak tentang transaksi transfer ini, yang pada dasarnya tidak terlepas dari kondisi-kondisi sebagai berikut :
Kondisi pertama, pemohon transfer menyerahkan dananya dalam bentuk real Saudi kepada bank, lalu bank memberikan kepadanya cek dalam lira Suria yang bisa ditukarkan atau dicairkan di Suria. Yang dengan demikian selesailah transaksi transfer dan tukar mata uang. Ketika Taqabudh (spot) adalah syarat dalam transaksi penukaran uang (money changer) sehingga tidak diperbolehkan penukaran uang tanpanya, maka sesungguhnya dengan diterimanya cek itu merupakan bentuk spot atau taqabudh. Dan disebutkan dalam fatwa majlis fikih Rabithah Alam Islamiy dalam musyawarahnya yang kesebelas yang dilaksanakan di Makkah Mukarramah pada tanggal 13-20 Rajab 1409 H yang bertepatan dengan 19-26 Februari 1989 M, sebagai berikut : “Penerimaan terhadap cek adalah bentuk taqabudh (transaksi spot) yang merupakan syarat yang berlaku dalam kasus penukaran uang dengan transfer yang terjadi di perbankan.” Dengan demikian terlaksanalah syarat-syarat sahnya penukaran uang, sehingga penukaran dan transfer uang kedua-duanya diperbolehkan.
Kondisi yang kedua, pemohon transfer menyerahkan dananya dalam bentuk real Saudi kepada bank, dan bank menukarnya dengan lira Suria tidak dengan memberikan cek, akan tetapi bank memerintahkan bank yang ada di damaskus melalui telekomunikasi atau yang lainnya agar mencatatnya dalam rekening disana lalu membayarkan dana tersebut kepadanya. Dengan demikian, maka penukaran dan transfer uang kedua-duanya diperbolehkan, karena pencatatan jumlah dana dalam rekening bank atas nama seseorang dianggap sebagai bentuk taqabudh baginya. Dan telah disebutkan dalam fatwa muktamar fikih islam oleh Rabithah Alam Islamiy dalam majlisnya yang kesebelas yang telah disebutkan sebelumnya sebagai berikut : “Pencatatan dalam rekening bank dianggap sebagai bentuk taqabudh bagi yang ingin menukarkan uangnya dengan mata uang lain baik dengan cara orang yang menukarkan uangnya itu memberikan langsung uangnya atau dengan uang yang sudah ia miliki dalam rekening bank tersebut.” Dengan demikian, penukaran uang dalam dua kondisi tersebut – kondisi pertama dan kedua – telah selesai di Saudi Arabia.
Kondisi ketiga, pemohon transfer menyerahkan uangnya kepada bank dalam bentuk real Saudi, lalu mentransfernya dalam real ke bank yang ada di Damaskus, dan di Damaskus terjadi penukaran uang antara pihak yang mentransfer uangnya dengan bank, lalu bank memberikan uangnya dalam bentuk Lira Suria sebagai ganti dari real Saudi yang ada dalam catatannya. Dan transaksi ini tidak ada satu unsur pun didalamnya yang diharamkan.
Selanjutnya kami akan sedikit membahas tentang transaksi penukaran dan transfer uang secara bersamaan, ada yang mengatakan : “Sesungguhnya itu adalah dua transaksi yang terjadi dalam satu akad, padahal Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam melarang dua transaksi jual beli dalam satu akad jual beli.” Akan tetapi pernyataan ini tidak benar, karena bank tidak menggantungkan transaksi penukaran uang dengan transaksi transfer, ataupun transaksi transfer dengan transaksi penukaran uang. Karena pemilik uang bisa menukarkan sejumlah uang real miliknya kepada bank tersebut dan mentransfernya lewat bank lain, atau sebaliknya menukarkan lewat bank lain dan mentransfer lewat bank tersebut. Sehingga transaksi semacam ini tidak termasuk dalam dua transaksi dalam satu jual beli.
Kesimpulannya, menurut kami, sesungguhnya tidak ada satu unsur pun dalam transaksi transfer uang dari suatu negeri ke negeri yang lain ini, yang diharamkan. Baik disertai dengan transaksi penukaran uang atau tidak.
c.       Pembukaan rekening Koran
Rekening Koran sama-sama memberikan banyak mashlahat bagi masing-masing importir maupun exportir, oleh karena itu, transaksi ini telah banyak dilakukan oleh para pedagang saat ini dalam menyelesaikan urusan dagangan antar Negara-nya.
Gambarannya adalah sebagai berikut : importir datang ke bank di negaranya Saudi Arabia, untuk mengajukan permohonan pembukaan rekening Koran senilai 100.000 real Saudi harga dari barang dagangan yang ingin diimpor tersebut dari suatu Negara, Suria misalnya. Maka importir membayar uang muka dari nilai seluruh barang dagangan tersebut sebanyak 25% misalnya kepada bank, dan bank menerima permintaan tersebut atas dasar uang muka yang diserahkan. Kemudian bank di Saudi ini menghubungi cabangnya yang ada di Suria, atau salah satu bank yang bekerjasama dengannya di negeri tersebut memberitahukan bahwasannya importir fulan mempunyai rekening Koran senilai 100.000 real, dan bank menjaminnya dengan harga barang yang akan diimpor dari perusahaan A senilai dengan uang tersebut. Maka bank di Suria menghubungi perusahaan yang dimaksud, dan membuat perjanjian dengannya untuk menentukan harga barang yang diinginkan oleh importir fulan hanya dengan menyerahkannya – menyerahkan kepada bank di tempat asal barang tersebut – surat-surat pengirimannya. Dan dengan diterimanya surat-surat pengiriman dari perusahaan yang dimaksud oleh bank, maka bank membayar barang tersebut lunas, dan menjadikannya hutang beserta bunganya atas bank di Negara asal importir, dan bank di Saudi memasukkan bunga dalam sisa harga yang harus dibayar oleh importir pemohon. Kemudian surat-surat pengiriman barang dikirimkan dari bank di Suria kepada bank di Saudi lalu kepada importir untuk mengambil barangnya.
Dan dari uraian diatas, sangat jelas terlihat adanya unsur riba dalam skema yang kami paparkan tersebut. Oleh karena itu, transaksi ini diharamkan dalam islam, tidak dihalalkan kecuali dalam keadaan darurat.
Adapun unsur riba bisa hilang dan pembukaan rekening Koran bisa menjadi halal jika pedagang yang ingin mengimpor tersebut telah membayar lunas senilai dengan barang yang ia impor kepada bank di Saudi saat ia mengajukan permohonan untuk membuka rekening Koran. Dan ini tidak akan mungkin kecuali bagi para pedagang yang mempunyai sokongan dana yang kuat (pedagang besar), sedang para pedagang menengah dan kecil akan merasa kesulitan, karena barang tersebut tidak bisa langsung diputar selama berbulan-bulan – yaitu selama masa antara dibukannya rekening Koran hingga datangnya barang dan diterima oleh pembeli – .  Melihat itu semua, maka kami berpendapat – wallahu a’lam – boleh membuka rekening Koran dengan sebagian dari harga bagi yang tidak mampu membuka rekening Koran dengan membayarnya secara penuh. Dan tidak ada dosanya bagi pedagang atas apa yang dibayarkannya kepada bank meski mengandung unsur riba karena kebutuhan pedagang terhadapnya. Dan kebutuhan bisa menjadikan keadaan menjadi darurat baik secara umum ataupun khusus, juga karena keumuman akibat dari riba. Sedang dosanya adalah bagi yang mengambil atau memakan riba dan bukan para pedagang yang memberikannya.
d.      Nota jaminan
Nota jaminan bisa didevinisikan sebagai perjanjian final yang dikeluarkan oleh bank berdasarkan permintaan dari nasabahnya dengan membayar sejumlah biaya tertentu, atau apapun yang bisa dijadikan jaminan, sesuai permintaan pihak yang mengambil manfaat itu dari bank selama jangka waktu tertentu.
Gambarannya adalah nasabah yang ingin masuk dalam sebuah tender – seperti lelang – datang kepada bank, dan memintanya – sebagai penguat status keuangannya – agar bersepakat dengan pihak yang akan berurusan dengan nasabah – yaitu yang mengambil manfaat – dengan membayarkan sejumlah dana tertentu – dan bank menentukan jumlahnya – ketika pihak yang mengambil manfaat tersebut memintanya. Dan bank menentukan masa berakhirnya perjanjian atau kesepakatan tersebut setelah disepakati bersama nasabah.
Bank biasanya tidak akan mengeluarkan nota ini kecuali setelah nasabah memberikan jaminan atas haknya kepada bank, seperti menggadaikan rumah atau tanah miliknya atau yang lainnya. Lalu bank biasanya menilainya dengan nominal tertentu yang disepakati, inilah yang disebut dengan bank penjamin.
Nota jaminan ada yang menamainya dengan al-kafalah al-bankiyah (jaminan bank), tapi setelah kami dalami, kami mendapati bahwa tidak mungkin menamai nota jaminan dengan istilah kafalah, karena antara dhaman dan kafalah terdapat sisi yang disepakati dan sisi yang diperselisihkan. Diantaranya adalah :
1)      Sesungguhnya tujuan dari setiap masing-masing baik kafalah ataupun dhaman adalah memperkuat status keuangan nasabah dihadapan pihak yang berurusan dengannya – orang yang mengambil manfaat – dalam bentuk kenyamanan dan ketenangan bahwa haknya tidak akan hilang.
2)      Dan jika dalam kafalah beban pihak yang ditanggung akan digabungkan dalam beban pihak yang menanggung dalam perjanjian permohonan kafalah. Sedangkan permohonan dalam nota jaminan (dhaman) adalah untuk bank – penjamin – dan bukan untuk yang dijamin – nasabah pemohon – dan bagi kami adanya pembatasan jaminan oleh yang dijaminkan dalam kesepakatan dengan penjamin itu diperbolehkan dalam madzhab hambali berdasarkan pendapat mereka tentang syarat-syarat akad, karena pembatasan ini adalah syarat yang sesuai dengan akad, dan didalamnya terdapat mashlahat bagi setiap pihak yang bersepakat, yaitu izin, syarat yang sah dan diperbolehkan.
3)      Dalam nota jaminan, akad terjadi antara nasabah – yang dijamin – dengan bank – penjamin – tanpa mengikut sertakan orang yang berurusan dengan nasabah – yang dijaminkan – dalam akad tersebut, begitu juga tidak mempertimbangkan kerelaannya atas jaminan ini, dan tidak menjadi kendala dalam proses penjaminan. Karena madzhab hambali dan Abu Yusuf dari madzham hanafi memperbolehkan kafalah tanpa izin ataupun ridho orang yang dijaminkan atasnya. Mereka berhujah dengan apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhori dari Salamah bin al-Akwa’ bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mau menyolatkan orang yang mati sedang ia dalam keadaan berhutang. Lalu Abu Qatadah berkata : “sholatkanlah ia wahai Rasulullah, dan saya akan menanggung hutangnya.” Maka sungguh Abu Qatadah telah menjaminkannya tanpa izinnya.
Dan lagi pula, sesungguhnya ridho orang yang dijaminkan atasnya – orang yang berurusan dengannya – itu ada secara ‘urf (adat/kebiasaan). Karena ‘urf telah berlaku dengan keabsahan nota jaminan jika berasal dari bank yang mendapatkan keringanan secara resmi dari pemerintah.
4)      Dan tidak ada masalah dengan adanya pemberian tempo dalam nota jaminan (dhaman) sebagaimana dalam kafalah, karena madzhab hanafi dan maliki memperbolehkan adanya pemberian tempo dalam kafalah.
5)      Nota jaminan adalah hubungan antara bank – penjamin – dan pihak yang berurusan dengannya – yang dijaminkan atasnya –, dan hubungan ini berbeda dengan hubungan antara pemohon jaminan dengan pihak yang berurusan dengannya. Sedang kafalah adalah hubungan antara yang dijaminkan atasnya – pihak yang berurusan dengannya – dengan pemohon jaminan disatu sisi, dan antara penjamin dan yang dijaman disisi lain.
6)      Dalam nota jaminan, nasabah – yang dijamin – membayarkan sejumlah uang kepada bank – penjamin – pada saat proses pembuatan nota jaminan sesuai kesepakatan, dimana para ahli fikih dalam islam tidak memperbolehkan bagi penjamin untuk mengambil bayaran atas jasa jaminan. Karena jaminan menurut mereka adalah termasuk akad kebaikan yang menganjurkan untuk saling menjamin sesama orang muslim.
Setelah mengkaji lebih dalam atas apa yang dibayarkan oleh pemohon – yang dijamin – kepada bank – penjamin – dalam bentuk sejumlah uang saat memproses nota jaminan, bisa disimpulkan menjadi dua bentuk :
a)      Apa yang dibayarkan tersebut dianggap sebagai upah atau biaya atas pekerjaan yang dilakukan oleh bank untuk mengeluarkan nota jaminan. Seperti mempelajari status atau keadaan keuangan pihak yang dijamin, mempelajari kemungkinan pemberian dana dan penghitungannya, mengkonfirmasi pihak yang berurusan dengannya, harga kertas, biaya operasional peralatan dan gedung, dan lain sebagainya. Sebagaimana yang telah direkomendasikan dan difatwakan oleh dewan fikih yang pertama tentang lembaga keuangan Kuwait yang diadakan pada tanggal 7-11 Rajab 1407 H atau 7-11 Maret 1987 M di Kuwait, pada halaman tujuh disebutkan :
“Biaya atau upah yang diambil oleh bank islam karena telah mengeluarkan nota jaminan sebagai pengganti usaha yang telah dilakukan oleh bank dalam mengeluarkan nota tersebut, dan bukan sebagai bayaran atas dhaman (jaminan) yang diberikan kepada nasabah.”
b)      Apa yang dibayarkan tersebut dianggap sebagai pengganti atas dhaman (jaminan) yang diberikan oleh bank kepada nasabah pemohon. Para ahli fikih tidak memperbolehkan bagi bank untuk membebankan biaya atas dhaman (jaminan) yang diberikan, sebagaimana mereka juga melarang mengambil bayaran atas kafalah.
Dan menurut kami, hukum tentang masalah ini – mengambil bayaran atas kafalah – harus dikaji kembali. Dengan adanya perbedaan keadaan dan kondisi manusia yang menjalankan hukum ini, maka tidak bias diingkari adanya perubahan hukum dengan adanya perubahan zaman, yaitu dengan berubahnya ‘urf (adat) dan kebiasaan mereka. Dan karena tidak ada satupun nash syar’i baik dari qur’an ataupun sunnah yang melarang mengambil bayaran atas kafalah yang diberikan.
Dan menurut kami, kafalah tersebut akan terjadi dalam dua bentuk :
Pertama, kafalah terhadap hutang yang tidak mungkin terbayar. Seperti kafalah terhadap hutang orang-orang fakir dalam rangka memenuhi kebutuhan harian mereka. Dan itu adalah bentuk pendampingan terhadap yang lemah hingga ia kembali kuat, serta tolong-menolong dalam kebaikan, yang merupakan kewajiban manusiawi dan dianjurkan agama, dimana tidak layak bagi seorang muslim meninggalkannya. Oleh karena itulah Allah subhanahu wata’ala memerintahkannya, sebagaimana yang disebutkan dalam surat al-Maidah ayat 2 :
(#qçRur$yès?ur n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3uqø)­G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4
“… dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
Dan mengambil bayaran atas kafalah ini tidak lepas dari maksud syariah.
Kedua, kafalah investasi terhadap orang-orang kaya untuk ikut serta dalam transaksi-transaksi perdagangan atau produksi yang memiliki harta yang melimpah. Jadi pemohon kafalah disini bukanlah dari golongan orang-orang fakir, akan tetapi peraturan mainnya tidak memungkinkan baginya untuk bisa ikut serta dalam transaksi yang potensial ini kecuali jika ada penjaminnya. Dan menurut kami, diperbolehkan bagi bank untuk membebankan biaya atas kafalah yang diberikan, karena bisa jadi bank penjamin terbawa dalam tanggungan hutang, keuntungan yang didapat itu sepadan dengan resiko yang ditanggung, khususnya jika bank penjamin telah membuat kafalah sebagai salah satu produk unggulannya dan menjadikannya sebagai salah satu dari sekian produk bank yang menghasilkan, sebagaimana seorang ‘alim ahli fikih diperbolehkan mengambil upah atas jerihnya dalam mengajarkan fikih dan qur’an jika ia memang tidak mempunyai pekerjaan lain dan serius dalam menggeluti hal itu.
Dan jika kami memperbolehkan bagi bank untuk mengambil bayaran atas kafalah investasi, maka kami juga memperbolehkan atas dhaman (jaminan) yang diberikan kepada nasabah pemohon, wallahu a’lam.
Kesimpulan pembahasan ini adalah sesungguhnya nota-nota jaminan merupakan akad khusus yang mirip sekali dengan kafalah, atau ia adalah salah satu jenis khusus dari jenis-jenis kafalah yang berarti hukumnya adalah boleh. Dan mengambil ganti biaya atas penerbitannya pun diperbolehkan sebagaimana dalam mengambil ganti biaya atas usaha yang dilakukan bank untuk menerbitkan nota jaminan – sebagaimana pendapat jumhur – atau pengganti dhaman (jaminan) yang diberikan kepada nasabah pemohon, menurut pendapat kami. Karena, sebagaimana kami telah sebutkan, bahwa ia adalah salah satu bentuk khusus dari kafalah.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa ia adalah akad khusus yang tidak ada contoh sebelumnya dalam masalah fikih – dan ini adalah yang kami rajihkan – karena adanya beberapa perbedaan dengan kafalah, maka akad ini diperbolehkan. Dan kami belum mengetahui ada hukum syariat yang melarangnya.